Halitu disampaikan Kiai Marzuki saat mengikuti doa bersama secara virtual dengan sebuah partai politik berlambang beringin. Acara itu juga dihadiri oleh Pengasuh Ponpes Darul Ulum Rejoso Jombang sekaligus Mursyid Thoriqoh Qodiriyah Naqsabandiyah, KH. Tamim Romly, serta Pengasuh Ponpes Nazhatut Thullab, Sampang KH. Muhammad bin Muafi Zaini.
TEMPOCO, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag) menyatakan nama-nama 200 mubaligh Kemenag akan bertambah seiring rekomendasi masyarakat dan organisasi keagamaan untuk menyerahkan nama mubalig untuk diverifikasi. Nama-nama itu akan diverifikasi sebagaimana dilakukan sebelumya. Juru bicara Kemenag Mastuki menuturkan nama-nama itu
Disampaikan pada Acara Haul ke- 48 Hadlatusysyekh Syaikhona wa Murobbi Ruhina Mbah KH. Mustqiem bin Husein dan KH. Abdul Djalil Mustaqiem yang ke-13, Pondok PETA Tulungagung 24 September 2017) BIOGRAFI MBAH KAKUNG KH. HASBULLOH MARZUKI. B EKASI - Mbah Kakung atu Mbah Hasbulloh Marzuki adalah ayah dari istri KH. Mahfudz Syafiâi ,
AlmarhumHaji Syihabuddin adalah salah seorang khotib di masjidf Al-Jami'ul Anwar Rawabangke (Rawa Bunga) Jatinegara Jakarta Timur. Guru Marzuki dilahirkan pada malam Ahad waktu Isya tanggal 16 Ramadlan 1293 H di Rawabangke (Rawa Bunga) Jatinegara Batavia (Jakarta Timur).
Vay Nhanh Fast Money.
As â Syaikh Ahmad Marzuki bin Mirsod Guru Marzuki Jakarta Minggu, 24 Februari 2019 , NU Toline Masyarakat Betawi biasa menyebutnya dengan Guru Marzuki, yang membedakannya dengan sebutan muallimâ dan ustazâ, meskipun sekarang dalam beberapa tulisan terkadang disebut dengan Kiai Marzuki. Guruâ adalah level tertinggi dalam derajat keulamaan di kalangan masyarakat Betawi atau Jakarta tempo dulu. Ia adalah seorang ulama Jakarta atau Betawi dari akhir abad ke-19 dan awal ke-20. Orang biasanya menyebutnya Guru Marzuqi Cipinang Muara walau di kitab-kitab yang dikarangnya ia menulis namanya dalam bahasa Arab Melayu tidak ada kata Cipinang, yaitu Guru Marzuqi Muara. Ada yang menulisnya dengan Marzuki, bukan Marzuqi. Saya terakhir kali berkunjung ke makamnya yang berada di Kompleks Masjid Jami Al-Marzuqiyah Cipinang Muara Senin, 1/12/2014, tertulis di poster silsilah namanya dengan tulisan Marzuki. Nama Lengkap Guru Marzuqi adalah As-syekh Ahmad Marzuqi bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Saâad bin Abdurrohman bin Sulthon yang diberikan gelar dengan âLaksmana Malayangâ dari salah seorang sultan tanah melayu yang berasal dari negeri Pattani, Thailand Selatan. Ibunya bernama Hajjah Fathimah binti Al-Haj Syihabuddin Maghrobi Al-Madura, berasal dari Madura dari keturunan Ishaq yang makamnya di kota Gresik Jawa Timur. Al-Marhum Haji Syihabuddin adalah salah seorang khotib di masjidf Al-Jamiâul Anwar Rawabangke Rawa Bunga Jatinegara Jakarta Timur. As-Syekh Ahmad Marzuqi dilahirkan pada malam Ahad waktu Isya tanggal 16 Romadhon 1293 H di Rawabangke Rawa Bunga Jatinegara Batavia Jakarta Timur. Usia 9 tahun ayahanda Al-Marhum berpulang ke Rohmatulloh dan diasuh oleh ibunda tercinta yang sholehah dan taqwa dalam suatu kehidupan rumah tangga yang sangat sederhana. Usia 12 tahun beliau diserahkan kepada sorang alim al-ustadz al-hajj Anwar Rohimahulloh untuk mendapat pendidikan dan pengajaran Al-qurâan dan berbagai disiplin ilmu agama Islam lainnya untuk bekal kehidupannya dimasa yang akan datang. Selanjutnya setelah berusia 16 tahun, untuk memperluas ilmu agamanya, maka ibundanya menyerahkan lagi kepada seorang alaim ulama al-allamah al-wali al-arifbillah dari silsilah dzurriyah khoyrul bariyyah SAW Sayyid âUtsman bin Muhammad Banahsan Rohimahullohu taâala. Melihat kejeniusan dan kekuatan hafalan dari Marzuki muda, pada usianya keenam belas tahun, Saayyid Utsman mengirimnya ke Makkah untuk belajar ilmu fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits hingga mantiq. Kesempatan menuntut ilmu tersebut benar-benar dipergunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga, dalam waktu hanya 7 tahun saja beliau telah mencapai segala apa yang dicita-citakannya, yakni menguasai ilmu agama untuk selanjutnya diamalkan, diajarkan serta dikembangkan. Guru-gurunya di Makkah diantaran adalah Syaikh Usman Serawak, Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki, Syaikh Umar Bajunaid Al-Hadhrami, Syaikh Muhammad Amin Sayid Ahmad Ridwan, Syaikh Syaikh Hasbulloh Al-Mishro, Syaikh Umar Al-Sumbawi, Syaikh Mukhtar `Atharid, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Mahfudz At-Tarmisi, Syaikh Sa`id Al-Yamani, Syaikh Abdul Karim Ad-Dagestani dan Syaikh Muhammad Umar Syatho. Dari gurunya yang lain, yaitu Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Mufti Makkah, Guru Marzuqi memperoleh ijazah untuk menyebarkan Tarekat Al-Alawiyah, Setelah selama 7 tahun beliau mukim di Makkah, kemudian datang sepucuk surat dari Sayyid Utsman yang meminta agar Syaikh Ahmad Marzuqi dapat kembali ke Jakarta, maka pada tahun 1332 H atas pertimbangan dan persetujuan guru-gurunya di Makkah beliau kembali pulang ke Jakarta dengan tugas menggantikan Sayyid Utsman guru beliau dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada murid-muridnya. Tugas yang diamanatkan ini dilaksanakan sebaik-baiknya hingga sampai sayyid Utsman berpulang ke Rohmatulloh. Guru Marzuki juga mempelajari tasawuf, dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat Alawiyyah dari Syaikh Muhammad Umar Syata, yang memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga mendapatkan ijazah tarekat Khalwatiyah dari Syaikh Usman bin Hasan al-Dimyati. Tarekat Alawiyyah ini merupakan tarekat sufi tertua di Indonesia. Tarekat ini cukup populer di Hadramaut yang merupakan daerah asal para pendakwah yang membawanya ke Asia Tenggara. Di Indonesia, tarekat ini tidak mengenakan pakaian khusus, tidak pula menetapkan syaikh tertentu. Praktik yang dilakukan hanya berupa bacaan rawatib bacaan rutin sehabis salat wajib 5 waktu yang diwarisi secara turun temurun sejak Rasul Saw, dan sahabatnya. Para pemukanya juga tidak menetapkan syarat-syarat atau kaidah tertentu selain mendorong untuk selalu membaca rawatib dan wirid-wirid. Pada tahun 1340 H, ia melihat keadaan di Rawa Bangke Rawa Bunga sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengembangkan agama Islam, karena lingkungannya yang sudah rusak. Ia segera mengambil suatu keputusan untuk berpindah ke kampung Muara. Disinilah ia mengajar dan mengarang kitab-kitab di samping memberikan bimbingan kepda masyarakat. Nama dan pengaruhnya semakin bertambah besar, karena bimbingannya banyak orang-orang kampung memeluk agama Islam dan kembali ke jalan yang diridhoi Allah SWT. Tak hanya itu, para santri dan pelajar banyak berdatangan dari pelosok penjuru untuk menimba ilmu kepada beliau. Sehingga tepat kalau akhirnya kampong tersebut dijuluki âKampung Muaraâ, karena disanalah muaranya orang-orang yang menuntut ilmu. Pada pagi hari jumâat jam WIB tanggal 25 Rajab 1352 H, Guru Marzuki wafat. Jenazahnya dikebumikan sesudah sholat Ashar yang dihadiri oleh para ulama dari berbagai lapisan masyarakat, yang jumlahnya amat banyak sehingga belum terjadi saat-saat sebelumnya. Acara sholat jenazahnya diimami oleh Sayyid Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Habib Ali Kwitang. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama NU memberikan penghargaan kepadanya karena telah ikut mendirikan NU di Batavia/ Jakarta pada tahun 1928 dan ia juga menjadi Rais Syuriahnya hingga wafat. Salah seorang cucunya, KH. Umairah Baqir anak dari KH Muhammad Baqir menikah dengan adik kandung seorang tokoh NU terkenal, KH. Idham Chalid . Adapun kitab-kitab yang dikarangnya ada 13 buah, yang dapat dilihat sekarang hanya 8 buah, berisi tentang fiqih, akhlak, akidah, yaitu Zahrulbasaatin fibayaaniddalaail wal al-`ajmiyah fii maârifati tirof minal alfadzilarobiyah. Miftahulfauzilabadi fiâilmil fiqhil fibayaniakhlaqi bani balaghah al-Betawi asiirudzunuub wa ahqaral isaawi wal `ibaad. Guru Marzuqi dijuluki sebagai âGurunya Ulama Betawiâ, dalam pengertian, dari murid-murid yang didiknya banyak yang menjadi ulama Betawi terkemuka, di dalam satu keterangan ada sekitar empat puluh satu ulama Betawi terkemuka. Di antaranya adalah Mu`allim Thabrani Paseban kakek dari KH. Maulana Kamal Yusuf, KH. Abdullah Syafi`i pendiri perguruan Asy-Syafi`iyyah, KH. Thohir Rohili pendiri perguruan Ath-Thahiriyyah, KH. Noer Alie Pahlawan Nasional, pendiri perguruan At-Taqwa, Bekasi, KH. Achmad Mursyidi pendiri perguruan Al-Falah, KH. Hasbiyallah pendiri perguruan Al-Wathoniyah, KH. Ahmad Zayadi Muhajir pendiri perguruan Az-Ziyadah, Guru Asmat Cakung, Pendiri Yayasan Perguruan Islam Almamur/Yapima, Bekasi, KH. Muchtar Thabrani Pendiri YPI Annuur, Bekasi, KH. Chalid Damat pendiri perguruan Al-Khalidiyah, dan KH. Ali Syibromalisi pendiri perguruan Darussaâadah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta
1293 â 1353 H/1876 â 1934 M Nama lengkap beliau adalah âAhmad Marzuki bin Syekh Ahmad al-Mirshad bin Khatib Saâad bin Abdul Rahman al-Batawiâ. Ulama terkemuka asal Betawi yang bermazhab Syafiâi dan populer dengan sebutan Guru Marzuki ini lahir dan besar di Batavia Betawi. Ayahnya, Syekh Ahmad al-Mirshad, merupakan keturunan keempat dari kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang berhijrah ke Batavia. Guru Marzuki dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 1293 H/1876 M di Meester Cornelis, Batavia. Masa Pertumbuhan dan Menuntut IlmuPada saat berusia 9 tahun, Guru Marzuki ditinggal wafat ayahnya. Pengasuhannya pun beralih ke tangan ibunya yang dengan penuh kasih sayang membina sang putra dengan baik. Pada usia 12 tahun, Marzuki dikirim oleh sang ibu kepada seorang ahli fikih bernama Haji Anwar untuk memperdalam Al-Qur'ân dan ilmu-ilmu dasar bahasa Arab. Guru Marzuki kemudian melanjutkan pelajarannya mengaji kitab-kitab klasik turats dibawah bimbingan seorang ulama Betawi, Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Melihat ketekunan dan kecerdasan Marzuki-muda, sang guru pun merekomendasikannya untuk berangkat ke Mekah al-Mukarramah guna menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu. Guru Marzuki yang saat itu berusia 16 tahun pun kemudian bermukim di Mekah selama 7 tahun. Guru-guru di HaramainSelama tidak kurang dari 7 tahun, hari-harinya di Tanah Suci dipergunakan Guru Marzuki dengan baik untuk beribadah dan menimba ilmu dari para ulama terkemuka di Haramain. Ulama Haramain yang sempat membimbing Guru Marzuki, antara lain Syekh Muhammad Amin bin Ahmad Radhwan al-Madani w. 1329 H., Syekh Umar Bajunaid al-Hadhrami w. 1354 H., Syekh Abdul karim al-Daghistani, Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bogori w. 1349 H, Syekh Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi w. 1337 H., Syekh Umar al-Sumbawi, Syekh Mahfuzh al-Termasi w. 1338 H., Syekh Saâid al-Yamani w. 1352 H, Syekh Shaleh Bafadhal, Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi w. 1331 H., Syekh Muhammad Ali al-Maliki w. 1367 H. dan lain-lain. Ilmu yang dipelajarinya pun bermacam-macam, mulai dari nahwu, shorof, balaghah maani, bayan dan badi, fikih, ushul fikih, hadits, mustholah hadits, tafsir, mantiq logika, faraâidh, hingga ke ilmu falak astronomi. Dalam bidang tasawuf, guru Marzuki memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-Alawiyah dari Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi w. 1331 H. yang memperoleh silsilah sanad tarekatnya dari Syekh Ahmad Zaini Dahlan w. 1304 H/1886 M., Mufti Syafiâiyyah di Mekah al-Mukarramah. Dalam disertasi doktoralnya di Fak. Darul Ulum, Cairo University hal. 63 â 66, Daud Rasyid memasukkan Guru Marzuki sebagai salah seorang pakar hadits Indonesia yang sangat berjasa dalam penyebaran hadits-hadits nabi di Indonesia dan menjaga transmisi periwayatan sanadnya. Sistem Mengajar dan Para MuridnyaSesudah kembali ke tanah air, atas permintaan Sayid Usman Banahsan, Guru Marzuki mengajar di masjid Rawabangke selama lima tahun, sebelum pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Santri yang mondok di sini memang tidak banyak, ditaksir sekitar 50 orang dan terutama datang dari wilayah utara dan timur Jakarta termasuk Bekasi. Cara mengajar Guru Marzuki kepada muridnya tidak lazim di masa itu, yaitu sambil berjalan di kebun dan berburu bajing tupai. Ke mana sang guru melangkah, ke sana pula para murid mengikutinya dalam formasi berkelompok. Setiap kelompok murid biasanya terdiri dari empat atau lima orang yang belajar kitab yang sama, satu orang di antaranya bertindak sebagai juru baca. Sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil berjalan. Setiap satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang belajar kitab lain lagi menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama seperti kelompok sebelumnya. Mengajar dengan cara duduk hanya dilakukan oleh Guru Marzuki untuk konsumsi masyarakat umum di masjid. Meskipun demikian, anak-anak santrinya secara bergiliran membacakan sebagian isi kitab untuk sang guru yang memberi penjelasan atas bacaan muridnya itu. Para juru baca itu kelak tumbuh menjadi ulama terpandang di kalangan masyarakat Betawi dan sebagian mereka membangun lembaga pendidikan yang tetap eksis sampai sekarang, seperti KH. Noer Alie pendiri Pesantren Attaqwa, Bekasi, KH. Mukhtar Thabrani pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi, KH. Abdul malik putra Guru Marzuki, KH. Zayadi pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender, KH. Abdullah Syafiâi pendiri Pesantren Asy-Syafiâiyyah, Jatiwaringin, KH. Ali Syibromalisi pendiri Perguruan Islam Darussaâadah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta, KH. Abdul Jalil tokoh ulama dari Tambun, Bekasi, KH. Aspas tokoh ulama dari Malaka, Cilincing, KH. Mursyidi dan KH. Hasbiyallah pendiri perguruan Islam al-Falah, Klender, dan ulama-ulama lainnya. Selain KH. Abdul Malik Guru Malik, putera-putera Guru marzuki yang lain juga menjadi tokoh-tokoh ulama, seperti KH. Moh. Baqir Rawabangke, KH. Abdul Muâthi Buaran, Bekasi, KH. Abdul Ghofur Jatibening, Bekasi.Guru Marzuki dan Jaringan Ulama BetawiDalam kajian Abdul Aziz, MA., peneliti Litbang Depag dan LP3ES, Guru Marzuki termasuk eksponen dalam jaringan ulama Betawi yang sangat menonjol di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bersama lima tokoh ulama Betawi lainnya, yaitu KH. Moh. Mansur Guru mansur dari Jembatan Lima , KH. Abdul majid Guru Majid dari Pekojan , KH. Ahmad Khalid Guru Khalid dari Gongangdia , KH. Mahmud Romli Guru mahmud dari Menteng , dan KH. Abdul Mughni Guru Mughni dari Kuningan-Jakarta Selatan . Guru Marzuki beserta kelima ulama terkemuka Betawi yang hidup sezaman ini memang berhasil melebarkan pengaruh keulamaan dan intelektualitas mereka yang menjangkau hampir seluruh wilayah Batavia Jakarta dan sekitarnya. Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh âenam pendekar-ulama Betawiâ hasil gemblengan ulama haramain inilah yang kelak menjadi salah satu pilar kekekuatan mereka sebagai kelompok ulama yang diakui masyarakat dan telah berjasa menelurkan para ulama terkemuka Betawi Guru Marzuki ârahimahullah wa ardhahuâ wafat pada hari Jumat, 25 Rajab 1353 H. Pemakaman beliau dihadiri oleh ribuan orang, baik dari kalangan Habaib, Ulama dan masyarakat Betawi pada umumnya, dengan shalat jenazah yang diimami oleh Habib Sayyid Ali bin Abdurrahman al-Habsyi w. 1388/1968 . Di masa hidupnya, Guru Marzuki dikenal sebagai seorang ulama yang dermawan, tawadhuâ, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga dikenal sebagai seorang sufi, daâi dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat lemah; hari-hari beliau tidak lepas dari mengajar, berdakwah, mengkaji kitab-kitab dan berzikir kepada Allah swt. Salah satu biografi beliau ditulis oleh salah seorang puteranya, KH. Muhammad Baqir, dengan judul Fath Rabbil-BâqĂŽ fĂŽ Manâqib al-Syaikh Ahmad al-MarzĂťqĂŽ.
KH Ahmad Marzuki bin Mirsod bin Hasnum bin Khatib Saâad bin Abdurrahman bin Sultan Ahmad al-Fathani dengan gelar Laqsana Malayang alias Guru Marzuki 1877-1934 M merupakan salah satu dari mahaguru ulama Betawi yang memiliki peran penting dalam penyebaran dakwah Islam di tanah Betawi. Kemahaguruan ini ditinjau pada aspek penyebutan Guruâ yang mana secara status keulamaan Betawi Guruâ merupakan level tertinggi setelah Muâallimâ dan Ustadzâ. Seorang Guruâ dalam buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21 2011, adalah penamaan ulama yang setara dengan Syaikhul Masyayikh, ia dianggap representatif dalam mengeluarkan fatwa agama dalam spesialisasi bidang keilmuan yang dikuasai. Setidaknya terdapat enam guru dari para ulama Betawi dari akhir pada abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20 yang disebut oleh Abdul Aziz dalam Islam dan Masyarakat Betawi 2002 sebagai enam pendekar atau the six teacher, yaitu Guru Mansur Jembatan Lima, Guru Marzuki Cipinang Muara, Guru Mughni Kuningan, Guru Madjid Pekojan, Guru Khalid Gondangdia, dan Guru Mahmud Ramli Menteng. Secara biologis, Guru Marzuki mempunyai keturunan yang berasal dari bangsawan Melayu Pattani, sebagaimana nasab melalui ayahnya sampai kepada Sultan Laqsana Malayang, salah seorang sultan Melayu di Negeri Pattani Thailand Selatan. Sedangkan ibunya, Hajjah Fatimah binti Syihabuddin bin Magrabi al-Maduri berasal dari pulau Madura dan keturunan Maulana Ishaq, Gresik Jawa Timur. Penelitian Agus Iswanto 2016 menyebutkan bahwa pada umur 16 tahun, Guru Marzuki diserahkan kepada ulama keturunan Arab bernama Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Tidak lama setelah itu di tahun 1907/08 beliau pergi ke Mekkah untuk menuntut ilmu, dan kembali ke Jakarta pada 1913/14 M. Di antara guru-guru beliau ketika di Makkah antara lain adalah Syekh Usman al-Sarawaqi, Syekh Muhammad Ali al-Maliki, Syekh Muhammad Amin, Sayyid Ahmad Ridwan, Syekh Hasbullah al-Misri, Syekh Mahfuz al-Termasi, Syekh Salih Bafadhal, Syekh Abdul Karim, Syekh Muhammad Saâid al-Yamani, Syekh Umar bin Abu Bakar Bajunayd, Syekh Mukhtar bin Atarid, Syekh Khatib al-Minangkabawi, Syekh al-Sayyid Muhammad Yasin al-Basyumi, Syekh Marzuki al-Bantani, Syekh Umar Sumbawa, Syekh Umar Syatha, dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Guru Marzuki juga memperoleh ijazah tasawuf yakni tarekat Alawiyyah dari Syekh Umar Syatha, yang diambil dari jalur silsilah Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Selain tarekat Alawiyyah, beliau juga mendapat ijazah tarekat Khalwatiyah dari Syekh Usman bin Hasan al-Dimyati. Setelah sampainya di Jakarta, beliau memulai jalan dakwah atas bimbingan gurunya Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Sayyid Umar meminta Guru Marzuki untuk menggantikannya mengajar di Masjid Jamiâ al-Anwar Rawa Bangke Rawa Bunga Jatinegara. Kemudian di tahun 1921/22 M beliau memutuskan untuk pindah dari Rawa Bangke karena kondisi lingkungan daerah tersebut semakin hari kian memburuk secara moralitas, sehingga sangat tidak kondusif dijadikan tempat belajar para santri. Beliau pun pindah ke kampung Muara untuk membangun tempat belajar para santri dan Masjid al-Marzuqiyah. Dari sinilah basis Guru Marzuki mengajar dan menulis kitab. Banyak murid-murid berdatangan dari wilayah Jakarta dan sekitarnya. Menurut Iswanto, Guru Marzuki memiliki banyak murid yang menjadi ulama terkenal, terutama di lingkungan masyarakat Betawi. Setidaknya ada 70 murid yang pernah belajar kepada Guru Marzuki yang kemudian menjadi ulama, sehingga tidak heran bila beliau dijuluki sebagai âguru ulama Betawiâ. Murid-muridnya antara lain KH Noer Ali Bekasi, 1913-1992, KH Muhammad Tambih Kranji Bekasi, 1907-1977, KH Abdullah Syafiâi Bali Matraman, 1910-1985, KH Tohir Rohili Bukit Duri, 1920-1999, KH Hasbiallah Klender, 1913-1982, dan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Di samping sebagai pendakwah, Guru Marzuki juga peduli terhadap gerakan kebangsaan. Sebagaimana pada masanya, KH Hasyim Asyâari saat itu mendirikan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keislaman Indonesia berlandaskan Ahlussunnah wal Jamaah, maka Guru Marzuki mengambil kontribusi dalam menegakkan NU yang masih usia dini tersebut di tanah Betawi. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa Guru Marzuki adalah tokoh kiai Betawi generasi pertama yang mendukung berdirinya Nahdlatul Ulama di Batavia pada tahun 1928. Tidak hanya itu, beliau juga bertindak sebagai Rais Syuriahnya sampai wafat. Hubungan Guru Marzuki dengan NU pun semakin erat ketika cucunya KH Umairah Baqir menikah dengan adik kandung KH Idham Chalid. Penulis Ahmad Rifaldi Editor Fathoni Ahmad
kh marzuki bin mirshod